Monday, June 14, 2010

Malpraktek

Download file lengkap di halaman ini

PENDAHULUAN
Hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan terapeutik yang dalam hukum dikatakan suatu perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini dimaksudkan mendapatkan hasil dari tujuan tertentu yang diharapkan pasien. Status legal dari seorang dokter yang menjalankan profesinya dengan praktek merupakan masalah yang sangat kompleks. Jika ditinjau dari segi hukum medik, maka hubungan antara dokter dan pasiennya dapat dimasukkan dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (sollis). Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan sedangkan yang kedua menerima pemberian pelayanan. Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai dua unsur: (1,2)
  • Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.
  • Adanya suatu kepercayaan (fiduciary relationship), karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain.


DEFINISI
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal : (1) Tanggung jawab kriminal, (2) Malpraktik secara etik, (3) Tanggung jawab sipil, dan (4) Tanggung jawab publik(5,9)

Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang ditimbulkan, (4) Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang dilakukan. (2,3)

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti – bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan – sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan – tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan terhadap prosedur – prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan secara hati – hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.(3)

Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.(3,6)

Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas. (6,9)

Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.(9)

Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.(9)

Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.(3)

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage). (2,9,10)

a. Duty (kewajiban)

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.(2)
Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan: (1)
  • Adanya indikasi medis
  • Bertindak secara hati-hati dan teliti
  • Bekerja sesuai standar profesi
  • Sudah ada informed consent.
Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. (6,10)

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.(9)

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :
  • diagnosis dan tata cara tindakan medis;
  • tujuan tindakan medis yang dilakukan;
  • alternatif tindakan lain dan risikonya;
  • risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
  • prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.(6)

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin “ Res ipsa Loquitur”. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.(2,6,8)

c. Direct Causation (penyebab langsung)
Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.(10)

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya. (2)

d. Damage (kerugian)

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. (2)

No comments: