Mohon maaf gambar tidak dapat ditampilkan. anda dapat menemukannya di sini
gbr 1 | gbr 2 | gbr 3 | gbr 4 | gbr 5 | gbr 6 | gbr 7 | gbr 8 | gbr 9 |
A. PENDAHULUAN
Akalasia merupakan suatu gangguan motilitas primer esofagus yang ditandai oleh kegagalan sfingter esofagus bagian distal yang hipertonik untuk berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristalsis esofagus. Kelainan ini menyebabkan obstruksi fungsional dari batas esofagus dan lambung. Akibatnya, terjadi stasis makanan dan selanjutnya timbul dilatasi esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi menjadi akalasia primer dan sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya.(1,4,10,14,16)
B. INSIDENS
Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan persentase sekitar 5% dari total akalasia.(2,4,6,15)
C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini relatif jarang dijumpai. Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28 populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian standar 0. Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder. Kelainan akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.(4,11)
D. ETIOLOGI
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis. Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya. (1,4,6,16)
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :(4,11)
a. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini.
b. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.
E. ANATOMI
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan garis tengah 2 cm. Terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang pada diafragma tepat anterior terhadap aorta.(7,9,14)
Gambar 1 (dikutip dari kepustakaan 9) Hubungan anatomi topografi esofagus (1)esofagus, (2)trakea, (3)bronkus kanan, (4)bronkus kiri, (5)arkus aorta, (6)diafragma, (7)hiatus eofagus, (8)segmen abdominal esofagus, (9)kardia gaster, (10)fundus gaster
Otot esofagus bagian sepertiga atas adalah otot rangka yang berhubungan erat dengan otot-otot faring sedangkan dua pertiga bawah adalah otot polos yang terdiri dari otot sirkuler dan otot longitudinal seperti yang terdapat pada organ saluran cerna yang lain.Berbeda dengan bagian saluran cerna yang lain, bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium melainkan terdiri atas jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.(14)
Esofagus mengalami penyempitan di tiga tempat yaitu setinggi cartilago cricoideus pada batas antara faring dan esofagus, rongga dada bagian tengah akibat tertekan lengkung aorta dan cabang bronkus utama kiri, serta pada hiatus esofagus diafragma.(9)
Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Krikofaringeus membentuk sfingter bagian atas yang terdiri dari serabut-serabut otot rangka. Sfingter esofagus bagian bawah ,walaupun secara anatomis tidak nyata ,bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus.(14)
Gambar 2 ( dikutip dari kepustakaan 10) Gambaran serat otot sfingter esofagus bagian bawah
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-cabang a. thyroidea inferior dan a. subclavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan a.bronkiales, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh a.gastrika sinistra dan a. frenica inferior.(9,14)
Aliran darah vena juga melalui pola segmental. Vena-vena esofagus bagian leher mengalirkan darah ke v.azygos dan v. Hemiazygos sedangkan vena-vena esofagus bagian subdiafragmatika masuk ke dalam v.gastrica sinistra.(9,14)
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan parasimpatis dari sistim saraf otonom. Serabut saraf simpatis dibawa oleh n. vagus. Selain serabut saraf ekstrinsik, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal ( pleksus mienterikus Auerbach ) dan pleksus Meissner yang terletak pada submukosa esofagus.(14,16)
F. PATOFISIOLOGI
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal peptide (VIP).(16)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :(4,11)
a. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung.
b. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan akalasia.
G. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinik
Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh terasa ditikam oleh bolus makanan, resa penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus.(1,4,9,11)
Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi pada sekitar 70% kasus. Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda bahwa regurgitasi berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit.(4,9,11)
Penurunan berat badan merupakan gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila keadaan ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan kembali karena pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan dan ditemukan pada 50% kasus.(4,11)
Sekitar 25 – 50 % kasus dengan disfagia juga disertai dengan nyeri dada yan biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan dapat menjalar ke belakang . bahu, rahang, dan tangan yang biasanya dirasakan bila minum air dingin.(4,11)
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah komplikasi retensi makanan dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Pemeriksaan fisis tidak banyak membantu dalam menentukan gejala objektif yang nyata.(4,9,11)
2. Gambaran Radiologi
Pada pemeriksaan dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak retrocardia yang didapatkan pada pasien stadium lanjut.(4,11,16,17)
Gambar 3 ( dikutip dari kepustakaan 18) Foto toraks posisi PA dan lateral menunjukkan gambaran esofagus yang mengalami dilatasi dengan air fluid level.
Gambaran gelembung udara dalam lambung akan berkurang akibat volume udara yang melewati sfingter esofagus bagian bawah berkurang.(16)
Gambar 4 ( dikutip dari kepustakaan 10 ) Pemeriksaan dengan barium kontras, diambil pada menit 1, 2, dan 5.
Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus bagian proksimal.
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran paruh burung ( bird’s beak appearrance ). Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.(12,13,16)
Gambar 5 ( dikutip dari kepustakaan 16 ) memperlihatkan gambahan akalasia berupa bird’s beak deformity dan dilatasi esofagus
Terracol dan sweet membagi akalasia atas dua tipe yaitu tipe sigmoidal dan fusiform. Perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut.(3)
Tabel 1 Perbandingan akalasia tipe sigmoidal dan tipe fusiform
Tipe sigmoidal Tipe fusiform
Dilatasi, hipertrofi,elongasi ,bentuk sigmoidal
Otot-otot atoni
Tidak nyeri
Segmen bawah atrofi Dilatasi, hipertrofi, bentuk fusiform
Hiperperistaltik tak menentu
Nyeri esofagospastik
Segmen bawah menyempit dengan hipertrofi serabut otot sirkuler.
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat gangguan pengosongan esofagus.(13,16,17)
Gambar 6 ( dikutip dari kepustakaan 10) Esofagografi menunjukkan gambaran esofagus yang mengalami dilatasi .
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.(4,11)
3. Patologi Anatomi
Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus Auerbach yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi dan hipertrofi esofagus.
Gambar 7 (dikutip dari kepustakaan 10) Ketiadaan ganglia pada pleksus Auerbach di gastro-esophageal junction. a)tampak sedikit infiltrasi limfosit. b) inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasi sedang limfosit, sel ganglion dapat teridentifikasi. c) inflamasi sedang : tampak infiltrasi limfosit. Hilangnya sel ganglion. d) Radang berat mienterikus dengan gambaran limfosit banyak.
Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan manometri.(4,11)
Kriteria Manometrik :
a. Keadaan normal :
• Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
• Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
• Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan
• Gelombang tunggal
• 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detik
b. Pada akalasia :
• Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
• Relaksasi SEB tidak sempurna
• Aperistaltik korpus esofagus
• Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding akalasia primer adalah : (4)
• Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.
• Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.
• Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus. Untuk dapat membedakan akalasia primer dan akalasia sekunder dapat dilihat dari gejala klinisnya seperti pada tabel berikut.
Tabel 2 Perbandingan Gejala Klinis Akalasia Primer dan Sekunder
Gejala klinis Akalasia
Primer Sekunder
Disfagia ringan-berat (>1 tahun) sedang-berat (<6>2 kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil
• Adanya ruptur esofagus karena dilatasi
• Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang sangat hebat
• Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor esofagus
• Akalasia pada anak berumur dibawah 12 tahun
Operasi esofagomiotomi distal (prosedur Heller) juga memberikan hasil yang memuaskan. Perbaikan gejala didapatkan pada 80-90 % kasus. Komplikasi yang dapat terjadi adalah masih menetapnya gejala-gejala disfagia karena miotomi yang tidak adekuat atau refluks gastroesofageal.
J. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Pasien akalasia mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan. Sehingga bila ditangani secara dini, prognosis pasien baik. Komplikasi yang paling sering muncul pada akalasia yang lama adalah karsinoma esofagus.(4,11)
DAFTAR PUSTAKA
(1). Achalasia. [Online]. 2007 Feb 10 [cited 2007 September 29]; Available from: URL:http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia
(2). Achalasia. [Online ]. 2007 September 29 ; Available from; URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000267.htm
(3). Adnan,Misbahuddin, Frans Liyadi S. Radiologi 3. Makassar ; Bagian Radiologi FKUH.1980. p.12.
(4). Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1).
(5). Ekayuda I. Radiology anak. Radiologi diagnostic. 2nd ed. Jakarta; 2005. p. 393-394.
(6). Fisichella, P Marco. Achalasia. [Online] 2006 Oct 10 [cited 2007 Sept 29]. Available from URL: http://www.emedicine.com/med/topic16.htm
(7). Forbes A, MisiewiczJJ, Compton CC, Levine MS, Quraishy MS, Rubesin SE, et al. The esophagus. Atlas of clinical gastroenterology. 3rd ed. Edinburgh: Elsevier Mosby; 2005. p. 23-26.
(8). Goyal,Ray K. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine vol 2. 16th ed. New York ; Mac Graw-Hill Book Company; 2000. p.
(9). Hafid A, Syukur A, Achmad IA, Ridad AM, Ahmadsyah I, Airiza AS, et al. Esofagus dan diafgagma. Buku ajar ilmu bedah. Sjamsuhidajat R, de JonG W, editors. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 499.
(10). Hirano,Ikuo. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. [Online]cited 2007 September 29; Available from : http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f1
(11). Manan, Chudahman. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV Infomedika ; 1990. p. 141-146.
(12). Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in diagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984. p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).
(13). Paul and Juhl’s. The Abdomen and Gastrointestinal Tract. Essential of Rontgen Interpretation. 4th ed. Cambridge : Harper & Row Publishers ; 1981. p.529-530.
(14). Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-358,363-365. (vol 1).
(15). Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 235-236.
(16). Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29]; Available from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm
(17). Teplick,J.George, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System. Rontgenologic Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders Company ; 1976. p.889 – 891.
(18). Achalasia.[Online]. Cited 2007 September 29. Available from URL: http://www.med.wayne.edu/diagRadiology/TF/GI/GI09.html
gbr 1 | gbr 2 | gbr 3 | gbr 4 | gbr 5 | gbr 6 | gbr 7 | gbr 8 | gbr 9 |
A. PENDAHULUAN
Akalasia merupakan suatu gangguan motilitas primer esofagus yang ditandai oleh kegagalan sfingter esofagus bagian distal yang hipertonik untuk berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristalsis esofagus. Kelainan ini menyebabkan obstruksi fungsional dari batas esofagus dan lambung. Akibatnya, terjadi stasis makanan dan selanjutnya timbul dilatasi esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi menjadi akalasia primer dan sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya.(1,4,10,14,16)
B. INSIDENS
Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan persentase sekitar 5% dari total akalasia.(2,4,6,15)
C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini relatif jarang dijumpai. Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28 populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian standar 0. Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder. Kelainan akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.(4,11)
D. ETIOLOGI
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis. Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan autoimun, penyakit infeksi atau kedua-duanya. (1,4,6,16)
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :(4,11)
a. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini.
b. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi.
E. ANATOMI
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan garis tengah 2 cm. Terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang pada diafragma tepat anterior terhadap aorta.(7,9,14)
Gambar 1 (dikutip dari kepustakaan 9) Hubungan anatomi topografi esofagus (1)esofagus, (2)trakea, (3)bronkus kanan, (4)bronkus kiri, (5)arkus aorta, (6)diafragma, (7)hiatus eofagus, (8)segmen abdominal esofagus, (9)kardia gaster, (10)fundus gaster
Otot esofagus bagian sepertiga atas adalah otot rangka yang berhubungan erat dengan otot-otot faring sedangkan dua pertiga bawah adalah otot polos yang terdiri dari otot sirkuler dan otot longitudinal seperti yang terdapat pada organ saluran cerna yang lain.Berbeda dengan bagian saluran cerna yang lain, bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium melainkan terdiri atas jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.(14)
Esofagus mengalami penyempitan di tiga tempat yaitu setinggi cartilago cricoideus pada batas antara faring dan esofagus, rongga dada bagian tengah akibat tertekan lengkung aorta dan cabang bronkus utama kiri, serta pada hiatus esofagus diafragma.(9)
Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Krikofaringeus membentuk sfingter bagian atas yang terdiri dari serabut-serabut otot rangka. Sfingter esofagus bagian bawah ,walaupun secara anatomis tidak nyata ,bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus.(14)
Gambar 2 ( dikutip dari kepustakaan 10) Gambaran serat otot sfingter esofagus bagian bawah
Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-cabang a. thyroidea inferior dan a. subclavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang segmental aorta dan a.bronkiales, sedangkan bagian subdiafragmatika disuplai oleh a.gastrika sinistra dan a. frenica inferior.(9,14)
Aliran darah vena juga melalui pola segmental. Vena-vena esofagus bagian leher mengalirkan darah ke v.azygos dan v. Hemiazygos sedangkan vena-vena esofagus bagian subdiafragmatika masuk ke dalam v.gastrica sinistra.(9,14)
Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan parasimpatis dari sistim saraf otonom. Serabut saraf simpatis dibawa oleh n. vagus. Selain serabut saraf ekstrinsik, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal ( pleksus mienterikus Auerbach ) dan pleksus Meissner yang terletak pada submukosa esofagus.(14,16)
F. PATOFISIOLOGI
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal peptide (VIP).(16)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :(4,11)
a. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung.
b. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan akalasia.
G. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinik
Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh terasa ditikam oleh bolus makanan, resa penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus.(1,4,9,11)
Gejala lain yang sering didapatkan adalah regurgitasi pada sekitar 70% kasus. Regurgitasi ini berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda bahwa regurgitasi berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit.(4,9,11)
Penurunan berat badan merupakan gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila keadaan ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan kembali karena pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan dan ditemukan pada 50% kasus.(4,11)
Sekitar 25 – 50 % kasus dengan disfagia juga disertai dengan nyeri dada yan biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien. Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan dapat menjalar ke belakang . bahu, rahang, dan tangan yang biasanya dirasakan bila minum air dingin.(4,11)
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah komplikasi retensi makanan dalam bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Pemeriksaan fisis tidak banyak membantu dalam menentukan gejala objektif yang nyata.(4,9,11)
2. Gambaran Radiologi
Pada pemeriksaan dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak retrocardia yang didapatkan pada pasien stadium lanjut.(4,11,16,17)
Gambar 3 ( dikutip dari kepustakaan 18) Foto toraks posisi PA dan lateral menunjukkan gambaran esofagus yang mengalami dilatasi dengan air fluid level.
Gambaran gelembung udara dalam lambung akan berkurang akibat volume udara yang melewati sfingter esofagus bagian bawah berkurang.(16)
Gambar 4 ( dikutip dari kepustakaan 10 ) Pemeriksaan dengan barium kontras, diambil pada menit 1, 2, dan 5.
Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus bagian proksimal.
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan gambaran paruh burung ( bird’s beak appearrance ). Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi.(12,13,16)
Gambar 5 ( dikutip dari kepustakaan 16 ) memperlihatkan gambahan akalasia berupa bird’s beak deformity dan dilatasi esofagus
Terracol dan sweet membagi akalasia atas dua tipe yaitu tipe sigmoidal dan fusiform. Perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut.(3)
Tabel 1 Perbandingan akalasia tipe sigmoidal dan tipe fusiform
Tipe sigmoidal Tipe fusiform
Dilatasi, hipertrofi,elongasi ,bentuk sigmoidal
Otot-otot atoni
Tidak nyeri
Segmen bawah atrofi Dilatasi, hipertrofi, bentuk fusiform
Hiperperistaltik tak menentu
Nyeri esofagospastik
Segmen bawah menyempit dengan hipertrofi serabut otot sirkuler.
Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat gangguan pengosongan esofagus.(13,16,17)
Gambar 6 ( dikutip dari kepustakaan 10) Esofagografi menunjukkan gambaran esofagus yang mengalami dilatasi .
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.(4,11)
3. Patologi Anatomi
Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus Auerbach yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi dan hipertrofi esofagus.
Gambar 7 (dikutip dari kepustakaan 10) Ketiadaan ganglia pada pleksus Auerbach di gastro-esophageal junction. a)tampak sedikit infiltrasi limfosit. b) inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasi sedang limfosit, sel ganglion dapat teridentifikasi. c) inflamasi sedang : tampak infiltrasi limfosit. Hilangnya sel ganglion. d) Radang berat mienterikus dengan gambaran limfosit banyak.
Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan manometri.(4,11)
Kriteria Manometrik :
a. Keadaan normal :
• Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
• Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
• Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan
• Gelombang tunggal
• 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detik
b. Pada akalasia :
• Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
• Relaksasi SEB tidak sempurna
• Aperistaltik korpus esofagus
• Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding akalasia primer adalah : (4)
• Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.
• Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.
• Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus. Untuk dapat membedakan akalasia primer dan akalasia sekunder dapat dilihat dari gejala klinisnya seperti pada tabel berikut.
Tabel 2 Perbandingan Gejala Klinis Akalasia Primer dan Sekunder
Gejala klinis Akalasia
Primer Sekunder
Disfagia ringan-berat (>1 tahun) sedang-berat (<6>2 kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil
• Adanya ruptur esofagus karena dilatasi
• Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang sangat hebat
• Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor esofagus
• Akalasia pada anak berumur dibawah 12 tahun
Operasi esofagomiotomi distal (prosedur Heller) juga memberikan hasil yang memuaskan. Perbaikan gejala didapatkan pada 80-90 % kasus. Komplikasi yang dapat terjadi adalah masih menetapnya gejala-gejala disfagia karena miotomi yang tidak adekuat atau refluks gastroesofageal.
J. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Pasien akalasia mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan. Sehingga bila ditangani secara dini, prognosis pasien baik. Komplikasi yang paling sering muncul pada akalasia yang lama adalah karsinoma esofagus.(4,11)
DAFTAR PUSTAKA
(1). Achalasia. [Online]. 2007 Feb 10 [cited 2007 September 29]; Available from: URL:http://en.wikipedi.org/wiki/achalasia
(2). Achalasia. [Online ]. 2007 September 29 ; Available from; URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000267.htm
(3). Adnan,Misbahuddin, Frans Liyadi S. Radiologi 3. Makassar ; Bagian Radiologi FKUH.1980. p.12.
(4). Bakry F. Akalasia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 322-324. (vol 1).
(5). Ekayuda I. Radiology anak. Radiologi diagnostic. 2nd ed. Jakarta; 2005. p. 393-394.
(6). Fisichella, P Marco. Achalasia. [Online] 2006 Oct 10 [cited 2007 Sept 29]. Available from URL: http://www.emedicine.com/med/topic16.htm
(7). Forbes A, MisiewiczJJ, Compton CC, Levine MS, Quraishy MS, Rubesin SE, et al. The esophagus. Atlas of clinical gastroenterology. 3rd ed. Edinburgh: Elsevier Mosby; 2005. p. 23-26.
(8). Goyal,Ray K. Disease of the Esofagus. Principles of the Internal Medicine vol 2. 16th ed. New York ; Mac Graw-Hill Book Company; 2000. p.
(9). Hafid A, Syukur A, Achmad IA, Ridad AM, Ahmadsyah I, Airiza AS, et al. Esofagus dan diafgagma. Buku ajar ilmu bedah. Sjamsuhidajat R, de JonG W, editors. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 499.
(10). Hirano,Ikuo. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. [Online]cited 2007 September 29; Available from : http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html#f1
(11). Manan, Chudahman. Akalasia. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV Infomedika ; 1990. p. 141-146.
(12). Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in diagnostic imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984. p. 522,525-526. (Abdomen; vol 1).
(13). Paul and Juhl’s. The Abdomen and Gastrointestinal Tract. Essential of Rontgen Interpretation. 4th ed. Cambridge : Harper & Row Publishers ; 1981. p.529-530.
(14). Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 357-358,363-365. (vol 1).
(15). Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 235-236.
(16). Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29]; Available from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm
(17). Teplick,J.George, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System. Rontgenologic Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders Company ; 1976. p.889 – 891.
(18). Achalasia.[Online]. Cited 2007 September 29. Available from URL: http://www.med.wayne.edu/diagRadiology/TF/GI/GI09.html
1 comment:
Semoga komen ini bisa menjadi tempat untuk saya diskusi untuk menyembuhkan penyakit akalasia saya. saya pria berusia 28 thn, saya telah menderita penyakit ini selama 4 thn. diawali pd tahun 2004 saya sering mengalami gejala indikasi nyeri ulu hati kemudian dengan tiba2 akhir '04 saya kesulitan utk menelan makanan dan tidurpun selalu keluar lendir maupun batuk2 yg terus menerus. skr saya msh sulit menelan & selalu batuk saat tidur. mohon saran...
Post a Comment